Sunday 3 August 2008

”MUSIM GUGUR” DALAM PANDANGAN LAMARTINE DAN ARIF KHUDAIRI

”MUSIM GUGUR”
DALAM PANDANGAN
LAMARTINE DAN ARIF KHUDAIRI

Oleh: Achmad Atho’illah, A.Md., A.Md., S.S.

A. Pendahuluan
Setiap penyair pasti memiliki arah dan tujuan tertentu dalam mengekspresikan karyanya. Ia akan terus dituntut untuk memilah, memilih, dan mencerna kata demi kata untuk mencapai sebuah kesempurnaan estetik. Seorang penyair pada hakikatnya tidak pernah berhenti bereksperimen karena dengan proses inilah ia akan dapat memperoleh jawaban dari kegelisahan puitiknya hingga ia dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk mewakili perasaan dan isi hatinya.
Banyak inspirasi yang digunakan oleh sang penyair untuk mengungkapkan perasaan dan isi hatinya tersebut. Salah satu di antaranya adalah melalui kosakata-kosakata fenomena alam, seperti hujan, badai, musim, dan sebagainya. Ketika seorang penyair mahjar Asia, Arif Kharki Khudairi, mengirimkan beberapa puisinya kepada saya pada tanggal 24 November 2007, saya menemukan juga kosakata-kosakata alam tersebut dalam beberapa sajaknya, seperti sajak Ragm al-Kharîf, ‘Umrî ka ‘Umriki, Min Jadîd, Flaminkû (Flamenco), dan Dauhah Syi’rî. Seketika itu juga, saya langsung teringat Lamartine yang juga pernah menulis sajaknya dengan memanfaatkan fenomena alam sebagai media penyampaian gagasannya. Untuk itulah kemudian tulisan ini muncul. Dalam tulisan ini, saya sengaja membatasi pada penggunaan kata-kata yang berkaitan dengan musim, terutama musim gugur dan semi sebagai oposisinya, yang digunakan oleh kedua penyair tersebut.
Fenomena penggunaan kosakata musim gugur maupun musim semi yang dilakukan oleh kedua penyair tersebut dapat dimaklumi karena Prancis, tempat asal Lamartine, sebagaimana kebanyakan negara-negara Eropa lainnya, hidup dalam iklim empat musim, yaitu musim panas (l’été), musim gugur (l’automne), musim dingin (l’hiver), musim semi (le printemps). Begitu juga Mesir, tempat asal Arif Khudairi, sebagai wilayah beriklim subtropis juga memiliki empat musim, yaitu musim panas (shaif), musim gugur (kharif), musim dingin (syita'), dan musim semi (rabi'). Bagi Lamartine dan Arif Khudairi, musim-musim tersebut memiliki arti penting, hingga keduanya memasukkan dalam karya puisinya. Musim gugur adalah salah satu dari empat musim tersebut yang ternyata menyita perhatian Lamartine dan Khudairi.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1985: 330) musim gugur diartikan dengan musim antara musim panas dan musim dingin. Dalam zona berhawa sedang, musim gugur adalah musim di mana kebanyakan tumbuhan ditunai, dan pohon deciduous melepas daun-daun mereka. Dia juga merupakan musim di mana hari-hari bertambah pendek dan dingin, dan peningkatan presipitasi di beberapa bagian dunia. Secara astronomi, musim gugur dimulai sekitar 23 September di belahan Utara, dan 21 Maret di belahan Selatan, dan berakhir sekitar 21 Desember di belahan Utara dan 21 Juni di belahan Selatan. Namun, meteorologis menghitung bulan-bulan Maret, April, dan Mei di belahan Selatan, dan September, Oktober, dan November di belahan Utara sebagai musim gugur. Suatu pengecualian definisi ini ditemukan di Kalender Irlandia di mana mereka masih mengikuti putaran Keltik, di mana musim gugur dihitung dari bulan-bulan Agustus, September, dan Oktober.
Perubahan musim gugur yang terjadi secara periodik ini tentu memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas manusia. Sehingga tak heran jika perubahan ini juga mampu menggerakkan perasaan manusia. Lalu sebenarnya apa makna yang terkandung dalam musim gugur (l’automne bagi Lamartine dan kharif bagi Khudairi) ditilik dari karya keduanya?

B. Musim Gugur dalam Sajak L’Automne
Sebagai kelompok liris romantik, Lamartine dalam karyanya sering kali ditemukan hubungan yang erat antara manusia dan alam. Alam dijadikan sebagai teman dan sahabat untuk meluapkan perasaan dan isi hatinya. Alam sering kali dimanusiakan, sehingga ia dapat berdialog, bergembira, berduka sebagaimana halnya manusia. Mengenai musim gugur, Lamartine secara gamblang telah menjadikannya sebagai judul dalam salah satu sajaknya yaitu L’Automne.
Dalam sajak tersebut Lamartine mengawalinya dengan ucapan salam pada musim gugur yang seakan menjadi sahabat dekatnya. Dalam sajaknya tersebut ia menyatakan.

Salut, bois couronnés d’un reste de verdure,
Feuillages jaunnissant sur les gazons épars!
Salut, derniers beaux jours! le deuil de la nature
Convient à la douleur et plaît à mes regards.

Salam, hutan-hutan yang masih menyisakan sedikit kehijauan,
Dedaunan menguning yang berserakan di hamparan rumput!
Salam, hari-hari indah yang terakhir! duka cita alam
Selaras dengan kesedihan dan menyenangkan pandanganku.
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-431)

Dedaunan hijau yang masih tersisa sedikit menunjukkan bahwa musim gugur akan segera ditinggalkannya dan saat perpisahan pun hampir tiba. Sebuah kondisi yang sangat berat untuk dapat berpisah dengan sahabatnya yang pernah memberikan kesan keindahan baginya. Dalam sajaknya tersebut Lamartine kemudian melanjutkan.

Je suis d’un pas rêveur le senter solitaire;
J’aime à revoir encor, pour la dernière fois,
Ce soleil pâlissant, dont la faible lumière
Perce à peine à mes pieds l’obscuritè des bois.


Kutapaki jalan kecil terpencil sambil melamun;
Aku suka melihat lagi, untuk terakhir kali,
Matahari yang memucat itu, sinarnya yang lemah
Masih mampu menembus kegelapan hutan di kakiku.
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-431)

Dalam suasana kesedihan, aku liris menapakkan kakinya ke sebuah jalan yang kecil dan sepi. Ia kemudian merenung dan menatap sahabatnya untuk sekali lagi sebelum ia meninggalkannya. Dengan sedikit keceriaan dan harapan, sahabatnya masih mampu untuk menguatkannya untuk bangkit keluar dari kesedihan dan kerunyaman. Bahkan kematian sebagaimana diungkapkan oleh Lamartine dalam baris selanjutnya.

Oui, dans ces jours d’automne où la nature expire,
A ses regards voilés je trouve plus d’attraits;
C’est l’adieu d’un ami, c’est le dernier sourire
Des lèvres que la mort va fermer pour jamais.
Ainsi, prêt à quitter l’horizon de la vie,
Pleurant de mes longs jours l’espoir évanoui,


Ya, pada hari-hari musim gugur ini saat alam mati,
Pada pemandangannya yang terselubung ku temukan daya tarik lebih banyak ;
Itulah salam selamat tinggal seorang teman, itulah senyuman terakhir
Bibir-bibir yang segera akan dikatupkan maut untuk selamanya.
Dalam suasana itu, siap untuk meninggalkan cakrawala kehidupan,
Dengan menangisi harapan yang lenyap dari hari-hariku yang panjang,
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-432)

Sesekali aku liris kembali mengenang keindahan masa lalunya yang tak pernah ia nikmati. Ia merasa berat untuk berpisah dengan dunianya. Ia pun sedih karena kematian sudah begitu dekat.

Je me retourne encore, et d’un regard d’envie,
Je contemple ses biens dont je n’ai pas joui.
Terre, soleil, vallons, belle et douce nature,
Ja vous dois une larme aux bords de mon tombeau;

Kutoleh lagi ke belakang, dan dengan pandangan iri
Ku tatap kekayaan hidup yang tak pernah kunikmati.
Tanah, matahari, lembah-lembah, alam nan indah dan ramah,
membuat air mataku menitik di tepi kuburku;
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-432)

Perasaan yang begitu berat untuk berpisah dari sahabatnya tersebut didukung pula dengan gambaran dalam sajak berikut.

L’air est si parfumé ! la lumiére est si pure!
Aux regards d’un mourant le soleil est si beau!


Udara begitu harum! cahaya begitu sempurna!
Pada pandangan orang sekarat matahari begitu indah!
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-432)

Dalam kondisi bercampurnya antara manisnya hidup dan kegetirannya, kini aku liris hanya bisa mengharapkan kebahagiaan dan kesenangan yang mungkin masih tersisa di masa-masa mudanya muncul meskipun hanya sedikit saja. Ia kini hanya bisa mengharapkan dalam kesendiriannya, ada orang lain yang tidak dikenalkan akan mau memahami jiwanya dan menyambutnya dengan sambutan yang hangat. Ia juga berharap ada seorang wanita yang datang kepadanya membawa kabar gembira serta mengembalikan semangat hidupnya.

Je voudrais maintenant vider jusqu’à la lie
Ci calice mêlé de nectar et de fiel:
Au fond de cette coupe où je buvais la vie,
Peut-être restait-il une goutte de miel!
Peut-être l’avenir me gardait-il encore
Un retour de bonheur dont l’espoir est perdu!
Peut-être, dans la foule, une âme que j’ignore
Aurait compris mon âme, et m’aurait répondu!...
La fleur tombe en livrant ses parfums au zéphire;
A la vie, au soleil, ce sont là ses adieux:


Sekarang ingin kureguk habis sampai ke endapannya
Piala berisi campuran madu dan empedu:
Di dasar gelas tempat kehidupan ku reguk,
Barangkali masih tersisa setetes madu !
Barangkali masa depan masih menyimpan untukku
Kembalinya kebahagiaan yang harapannya sudah hilang!
Barangkali, di antara orang banyak, seorang insan yang tak ku kenal
Mungkin akan memahami jiwaku, dan akan menyambutku!...
Bunga gugur sambil mengirimkan wewangiannya kepada angin sepoi-sepoi;
Kepada kehidupan, kepada matahari, itulah salam-salam perpisahannya;
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-432)

Akan tetapi masa tua atau bahkan kematian tetap saja menjemputnya. Kini aku liris hanya bisa meratapinya dan mengharapkan ada seseorang yang memperhatikan dan bersimpati kepadanya.

Moi, je meurs ; et mon âme, au moment qu’elle expire,
S’exhale comme un son trist et mélodieux.
Aku, aku mati, dan jiwaku, saat ia lepas,
Menyebar seperti bunyi yang sendu dan merdu.
(Terjemahannya oleh Elly Danardono dalam Husen, dkk, 2001: 430-432)

C. Musim Gugur dalam Sajak Ragm al-Kharîf
Khudairi dalam sajaknya Ragm al-Kharîf memulai dengan mengenang masa-masa keindahan di musim panas, yaitu masa kedewasaan, masa pencapaian dari apa yang diinginkan, dan masa keberhasilan. Dalam sajaknya Khudairi mengatakan.

في الصيف
قرب الغدير
الصغير.. الصغير..

Di musim panas
Di dekat anak sungai
Yang mungil… yang kecil…

Kami liris menikmati keindahan masa-masa kedewasaannya untuk membangkitkan semangat hidup di masa tuanya (musim gugur). Ia menyongsong masa depannya yang begitu indah sebagai digambarkan salam sajak seperti waktu pagi hari yang begitu cerah seperti purnama dan memancar seperti kilapan emas.

كنا نسير وكان الصباح
بهياكبدر السماء المنير
والشمس تملأ دنيانا نورا
زهيرا كمثل النضار النضير

Kami berjalan, sementara pagi
Begitu indah bak purnama bersinar di angkasa
Mentari pun memenuhi bumi dengan cahaya
Yang memancar seindah emas

Namun meski demikian, aku liris juga sadar akan masa tuanya yang telah benar-benar datang. Aku liris pun kemudian merenung. Ia melihat segala yang ada di luar dirinya merasakan kesedihan di masa-masa datangnya tua karena segalanya telah pergi dan yang ada hanyalah kesendirian dan kesepian. Dalam hal ini Khudairi dalam sajaknya menyatakan.

وحين نظرت
إليك لمحت
بجفنيك دمعا
تحدر مثل الندى
في سكون

Dan ketika aku memandangmu
Aku melihatAir mata di pelupuk matamu
Mengucur seperti hujan
Dalam keheningan

Menurut Rifaterre, sajak biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaan atau pertentangannya (Pradopo, 2003:155). Julia Kristeva (Culler dalam Teeuw) mengemukakan bahwa setiap teks (termasuk teks karya sastra) terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan dan merupakan peresapan serta transformasi teks-teks lain (Teeuw, 2003:121). Sehingga ia berpandangan bahwa setiap teks harus dibaca atas dasar latar belakang teks-teks lain. Makna musim gugur yang diproduksi oleh bagian akhir sajak Ragm al-Kharîf tersebut di atas selanjutnya diperkuat dengan kata yang sering dijadikan sebagai oposisi musim gugur, yakni musim semi. Khudairi dalam sajaknya yang lain dengan judul ‘Umrî ka ‘Umruki menyatakan.

عشرون عاما
عمركِ أنتِ
كعمر الزهور
وعمر الربيع
وعمر الهوى

Dua puluh tahun
Itulah usiamu
Seperti usia bunga
dan musim semi
Dan usia cinta

Musim semi dalam sajak tersebut diidentikkan Khudairi dengan masa kanak-kanak dan remaja, masa pertumbuhan dalam suasana ceria, menyenangkan, dan penuh dengan keindahan. Jika kata musim semi yang dimaksudkan oleh Khudairi tersebut dioposisikan dengan musim gugur, maka sebenarnya Khudairi dalam sajak tersebut juga ingin menyatakan bahwa musim gugur identik dengan masa tua, masa penurunan semangat hidup yang penuh dengan kegelisahan, dan kerunyaman.
Makna musim semi tersebut kemudian diperkuat lagi dengan sajaknya yang lain, Min Jadîd. Dalam sajak tersebut Khudairi menyatakan.

وحتى يعود الربيع إلينا
فتزهو فيها
أزاهير حبّ
جديده جديده

Dan ketika musim semi datang pada kami
Tumbuh
Bunga-bunga cinta
Yang benar-benar segar

D. Penutup
Bagi Lamartine, musim gugur adalah sahabat dekatnya. Lamartine lebih cenderung pesimis dalam pengungkapan musim gugur dalam sajaknya. Baginya musim gugur adalah tanda perpisahan sebelum “mati” di musim dingin. Ia memang sesekali mengungkapkan keindahan di masa lalunya, tetapi dengan penggambaran yang agak kabur karena selalu diikuti dengan sesuatu yang justru sebaliknya. Berbeda dengan Arif Khudairi, lebih cenderung optimistis. Ia jarang sekali meratapi kesedihan kecuali untuk orang kedua. Dengan mengenang keindahan di masa lalunya di musim panas yang sering dilambangkan sebagai sebuah masa kedewasaan atau keberhasilan, Khudairi mencoba untuk membangkitkan semangat meski masa tua, menurunnya stamina atau bahkan kematian sudah semakin dekat. Ia pun mengungkapkannya dengan tanpa adanya ambiguitas.


DAFTAR BACAAN
Abukhudairi, Arif Kharki. Sajak Ragm al-Kharîf, ‘Umrî ka ‘Umriki, dan Min Jadîd, dalam kiriman email kepada penulis tertanggal 24 November 2007.
Husen, Ida Sundari, dkk.. Meretas Ranah Bahasa, Semiotika, dan Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Teeuw, A.. Sastera dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2003.

No comments: